Belajar dari para pendiri bangsa.....
04 November 2016, Jakarta dipenuhi
oleh para pendemo dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka mengikuti aksi
damai, menyampaikan aspirasi atas dugaan “penistaan agama” yang dilakukan oleh
Gubernur DKI Jakarta (non aktif) Basuki Tjahaja Purnama.
Semula aksi ini berlangsung dengan
damai dan kondusif, semuanya terkendali. Namun usai pukul 18.00 WIB, di
beberapa tempat terutama di Jakarta Utara, aksi berubah menjadi anarkis,
beberapa sentra kediaman orang-orang tionghoa menjadi incaran para oknum
pendemo.
Esoknya Polisi menyatakan sudah
menangkap beberapa orang yang diduga menjadi provokator dan dalang di balik
aksi anarkis tersebut. Namun peristiwa
itu sudah meninggalkan bekas. Beberapa mobil yang dikemudikan oleh orang
tionghoa, dipaksa berhenti di jalan, lalu dilempari, minimarket dijarah dan
beberapa fasilitas publik termasuk mobil polisi dibakar.
Indonesia sudah berusia 71 tahun,
bulan agustus 2016 lalu. Namun ternyata kita masih harus dihadapkan pada
tindakan kekanak-kanakan dari sebagian penghuninya. Ini semua soal perbedaan
pendapat dan pandangan, yang seharusnya diselesaikan di meja perundingan dengan
cara-cara yang damai dan elegan.
Saya jadi teringat bagaimana tokoh
politik dari kalangan Islam harus “dipengaruhi” oleh Bung Hatta untuk “menghilangkan”
7 kata dalam Piagam Jakarta. Saya jadi
teringat bagaimana Bung Hatta harus mundur dari posisinya sebagai wakil
Presiden karena sudah berseberangan secara politik dengan Soekarno. Saya jadi
teringat bagaimana perdebatan di ruang sidang Konstituante antara pendukung
Pancasila dengan pendukung Islam sebagai dasar negara.
Itu semua perdebatan, itu semua
perbedaan pendapat, itu semua “pertengkaran” dalam hal pemikiran. Tapi saya ga pernah menemukan di akhir
perdebatan mereka saling pukul memukul, saling bunuh membunuh, atau minimal
saling membenci. Semuanya selesai di ruang debat, setelah itu semua selesai,
kita pulang jadi teman seperti sebelumnya.
Saya masih ingat kisah tentang
bagaimana Bung Hatta menjenguk Soekarno ketika Bung Karno menjelang ajal.
Mereka saling menangis, tak ada kata terucap dari mulut mereka, tangisan mereka
berdua bermakna sejuta kata tentang perjuangan sejak belia, yang dilupakan dan
dihinakan justru di akhir hidup mereka. Mereka berdebat, bertengkar ide tapi
berpaut hatinya, jiwa mereka untuk sebesar-besarnya Indonesia.
Saya benar-benar menginginkan
guru-guru sejarah di semua sekolah Indonesia, mengajarkan ke-Indonesiaan.
Bagaimana rumah bernama Indonesia ini susah payah dibangun, pondasinya mahal,
bukan hadiah seperti beberapa bangsa lain. Negara ini dibangun di atas darah,
darah para pejuang, darah orang-orang yang melupakan keluarganya, melupakan
cintanya, melupakan masa depannya, melupakan hartanya, melupakan anak-anaknya,
demi satu rumah bernama INDONESIA.
Akhirnya, jangan sampai hanya karena
berbeda pandangan politik, kita meminggirkan “INDONESIA”. Jika ada dugaan
penistaan agama serahkan kepada aparat penegak hukum. Itu jalur yang sebenarnya
dan sebaik-baiknya. Kita hormati apa pun hasilnya. Jangan kemudian karena tidak
sesuai ekspektasi, kita marah dan mengamuk.
Semua perbedaan pendapat seharusnya
didiskusikan, dibicarakan, jangan diakhiri dengan kekerasan. Kekerasan tidak
akan pernah selesaikan masalah, dia hanya akan melahirkan kekerasan baru. Dan Sejarah,
sudah sejak lama mencatat itu, kita hanya perlu belajar dan tak mengulangnya,
bukan demi apa-apa tapi demi Indonesia, tempat kita hidup, mencari makan,
membesarkan anak-anak kita, dan menemukan cinta kita…
Komentar
Posting Komentar