XI WAJIB
Bersilat lidah dan mengatur strategi..
Setelah melalui perang dan konflik berkepanjangan selama berbulan-bulan sejak tentara Inggris mendarat di Jakarta, Indonesia menyerukan kepada Belanda untuk mengadakan pembicaraan tentang masa depan hubungan Indonesia dan Belanda.
Banyaknya korban jiwa di perang Surabaya, Bandung, Medan, Padang,
Ambarawa dan Jakarta, membuat pemerintah Indonesia memikirkan ulang pendekatan
yang lebih “licin” dalam memenangkan pertarungan dengan Belanda.
Diplomasi merupakan salah satu cara yang pantas dan harus dicoba
digunakan oleh Indonesia. Namun tunggu dulu, Diplomasi tidak semudah yang
dibayangkan. Indonesia berhadapan dengan Belanda yang notabene negara pemenang
Perang Dunia II yang “bersahabat” dengan Inggris dan Amerika.
Masalah pertama muncul. Belanda tidak bersedia melaksanakan sebuah
negosiasi/diplomasi dengan negara yang dipimpin oleh seorang yang selama perang
dunia II bekerjasama dengan musuh mereka yaitu Jepang. Belanda tidak bersedia
berdiplomasi dengan Soekarno dan Hatta. Mereka menganggap Soekarno merupakan
“antek” Jepang yang selama perang, mengumandangkan slogan anti negara sekutu (Belanda, Amerika, Prancis, Inggris).
Indonesia menanggapi hal ini dengan “mengubah” struktur
pemerintahan dari Presidensial menjadi Parlementer. Negara yang
sebelumnya dipimpin oleh seorang Presiden, diganti menjadi dipimpin oleh
seorang Perdana Menteri. Sutan Syahrir ditunjuk oleh Bung Karno menjadi Perdana Menteri.
Keputusan
ini kemudian ditanggapi secara baik oleh Belanda.
Akhirnya mereka bersedia untuk mengadakan perundingan yang dilangsungkan
pada
tanggal 10 Februari 1946. Dalam pertemuan ini Indonesia diwakili oleh PM
Sutan
Syahrir, Belanda diwakili oleh Van Mook, dan ada satu negara lagi yang
sudah sangat“pengen” keluar dari Indonesia yaitu Inggris yang diwakili
oleh Sir
Archibald Clark Kerr.
Dalam pertemuan ini Van Mook mengingatkan kembali usulan yang
disampaikan oleh Ratu Belanda, yaitu Wilhelmina tentang masa depan Indonesia.
1. Indonesia akan dijadikan
negara persemakmuran berbentuk federal yang memiliki pemerintahan sendiri di
dalam lingkungan Kerajaan Belanda.
2. Masalah dalam negeri
diurus oleh Indonesia, masalah luar negeri diurus oleh Belanda.
3. Sebelum dibentuk negara
persemakmuran akan dibentuk pemerintahan peralihan selama 10 tahun.
4. Indonesia akan
dimasukkan menjadi anggota PBB.
Indonesia belum
memberikan tanggapan terhadap “tawaran” Belanda tersebut. Sekitar
bulan Maret 1946, Indonesia memberikan jawaban antara lain:
1. Republik Indonesia harus
diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda.
2. Pinjaman-pinjaman
(utang) Belanda sebelum 8 Maret 1942 menjadi tanggungan pemerintah RI.
3. Federasi Indonesia akan
dilaksanakan pada masa tertentu dan mengenai urusan luar negeri dan pertahanan
diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas orang Indonesia dan
Belanda.
4. Tentara Belanda segera
ditarik dari Indonesia dan jika perlu digantikan oleh Tentara Nasional
Indonesia.
5. Selama perundingan
berlangsung semua aksi militer harus dihentikan.
Tentu
saja syarat yang
diajukan oleh Indonesia ini ditolak oleh Belanda.Van Mook bahkan tidak
mengakui
Syahrir sebagai pemimpin dari Indonesia, dia menganggap bahwa
Syahrir hanya merupakan perwakilan rakyat Jawa saja dalam rangka
pembentukan
negara Federal (sekumpulan negara-negara bagian) dalam lingkungan
Kerajaan Belanda, bukan perwakilan Indonesia. Belanda ingin memecah
belah Indonesia.
Hal
ini terbukti ketika Belanda menyelenggarakan Konferensi Malino pada 15-25 Juli
1946. Konferensi ini dihadiri oleh 39 orang Indonesia yang merupakan wakil2
Raja, umat Kristen serta beberapa wakil kelompok etnik dari Kalimantan dan
Indonesia Timur. Belanda ingin “memecah belah” Indonesia dengan cara
membagi Indonesia menjadi negara2 bagian, dan semua berada di bawah Kerajaan
Belanda.
Pada perkembangannya Indonesia dan Belanda mampu mencapai kesepakatan
pertama pada bulan November 1946 di Linggajati (dekat Cirebon) menjadi tempat
yang dipilih oleh kedua pihak untuk melangsungkan sebuah perundingan. Indonesia
diwakili oleh dr Sudarsono.
Sementara Belanda diwakili oleh Prof. Schermerhorn. O iya, hampir lupa,
perundingan ini bisa terjadi tidak lepas dari peran Inggris, yang menjadi
penengah dengan mengirimkan Lord Killearn sebagai wakilnya.Akhirnya perundingan
tersebut yang disebut juga perundingan Linggajati menghasilkan kesepakatan
sebagai berikut:
A. Belanda mengakui secara
de facto Republik Indonesia dengan wilayah yang meliputi Sumatera, Jawa dan
Madura.
B. Belanda sudah harus
meninggalkan daerah de facto (Jawa, Sumatera, Madura) paling lambat 01 Januari 1949.
C. Pemerintah RI dan
Belanda bersama2 menyelenggarakan berdirinya sebuah negara federasi yang
dinamakan Negara Indonesia Serikat (RIS).
D. Pemerintah RIS akan
bekerjasama dengan pemerintah Belanda membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan
Ratu Belanda sebagai ketuanya (pemimpinnya).
Tentu saja semua hasil
diplomasi ini mendapat penolakan dari kalangan politisi dalam negeri Indonesia.
Mengapa? Karena Indonesia dianggap “menyerah” kepada Belanda dan “membelah”
dirinya menjadi negara2 bagian, dan mengakui Ratu Belanda Wilhelmina sebagai
pemimpin Uni Indonesia-Belanda.
Namun
hasil perundingan ini merupakan sebuah langkah maju bagi Indonesia. Untuk
pertama kalinya Belanda “mengakui” keberadaan dan kedaulatan Indonesia sebagai
sebuah negara. Negara yang telah menjajah Indonesia sejak tahun 1817 -1942,
untuk pertama kalinya mengakui keberadaan kita.
Setelah
perjanjian disepakati, Belanda tidak sepenuhnya melaksanakan apa yang tercantum
di dalam isi perjanjian. Belanda menuntut lebih banyak hal lagi dari Indonesia.
Belanda ingin ada pemerintahan peralihan, garis demiliterisasi, penempatan
tentara (AD,AU,AL) Belanda di Indonesia dan Belanda ingin mengawasi hasil
devisa dari perkebunan Indonesia.
Tentu
saja Indonesia menolak tuntutan ini. Namun bukannya menerima penolakan
Indonesia dengan niat baik, Belanda malah melaksanakan apa yang sudah mereka
rencanakan sejak lama yaitu serangan militer. Serangan ini disebut juga Agresi
Militer. Agresi Militer pertama ini terjadi pada tanggal 21 Juli 1947.
Pasukan Indonesia sudah ditarik dari wilayah2 yang bukan milik
Indonesia berdasarkan perjanjian Linggajati (wilayah di luar Jawa Sumatera, Madura) Secara militer, agresi pertama ini
membuat Indonesia sangat terdesak dan tertekan. Di sisi lain, akibat agresi ini,
dunia Internasional akhirnya “mengarahkan” mata dan simpatinya ke Indonesia.
India dan Australia merupakan dua negara pertama yang
mengajukan kepada dunia internasional agar masalah Indonesia ini dibahas dalam
sidang PBB.
Gayung bersambut, usul
itu diterima. PBB akhirnya membahas masalah
tersebut pada tanggal 31 Juli 1947 atau sebulan setelah agresi militer pertama
dilancarkan. Esoknya PBB mengeluarkan seruan kepada Indonesia dan
Belanda untuk menghentikan peperangan dan mencari penyelesaian masalah secara
damai. Walaupun berdasarkan laporan Konsulat Jenderal Amerika gencatan senjata tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Oleh
karena itu PBB meminta Syahrir untuk menjelaskan di hadapan mereka tentang
masalah Indonesia tersebut. Selain menjelaskan persoalan tersebut, Syahrir juga
meminta PBB agar membentuk badan penengah (arbitrase), untuk menengahi persoalan
Indonesia-Belanda itu. PBB setuju, akhirnya dibentuklah Komisi Jasa-Jasa Baik
(Good Will Commission ) atau lebih dikenal dengan istilah Komisi Tiga Negara.
Anggota
KTN terdiri atas satu wakil yang dipilih Indonesia, satu orang dipilih Belanda,
dan satu wakil lagi yang dipilih secara bersama-sama oleh kedua2nya. Indonesia
memilih Australia, Belanda memilih Belgia, Kemudian Belgia dan Australia memilih
Amerika Serikat sebagai penengah. Australia menunjuk Richard Kirby sebagai wakilnya, Belgia
menunjuk Paul Van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Frank B Graham sebagai
wakilnya. Dalam masalah militer KTN berhak mengambil inisiatif, namun dalam hal
politik KTN hanya memberikan saran dan usul.
27
Oktober 1947, anggota KTN tiba di Indonesia. Mereka langsung bertemu dengan
delegasi Indonesia dan Belanda untuk melakukan pembicaraan dan merencanakan
perundingan lanjutan. Belanda mengusulkan di Jakarta, Indonesia menolak karena
Jakarta sudah dikuasai Belanda dan tidak aman untuk delegasi Indonesia.
Indonesia ingin agar perundingan dilakukan di tempat yang netral yang tidak
dikuasai Indonesia dan Belanda. Akhirnya Amerika Serikat menawarkan Kapal
Perangnya bernama USS Renville untuk dijadikan tempat berunding.
Delegasi
Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifudin dan wakilnya Ali
Sastroamidoyo. Perundingan tetap tidak berjalan lancar karena Belanda bersikeras
tentang Garis Van Mook atau garis demarkasi yaitu garis terdepan dari pasukan
Belanda setelah agresi militer mereka yang pertama. Menurut mereka wilayah
Indonesia bukan lagi Jawa, Sumatera dan Madura seperti apa yang disepakati di
perjanjian Linggajati. Namun tinggal wilayah yang tidak dikuasai Belanda usai
agresi, yaitu Sumatera Baratr, Sumatera Selatan, Banten dan Jawa Tengah. (lihat gambar bawah)
Menurut Perundingan Renville wilayah Indonesia tinggal yang berwarna merah |
Tentu
saja hal ini ditolak oleh Indonesia. Perundingan semakin tidak pasti, meskipun
KTN memberikan jaminan bahwa wilayah Indonesia tidak akan berkurang. KTN
berusaha meyakinkan Indonesia untuk menerima hasil perundingan Renville.
Akhirnya Indonesia menerima perjanjian tersebut yang isinya antara lain:
1. Indonesia setuju
dibentuknya Negara Indonesia Serikat
2. Daerah yang diduduki
oleh Belanda melalui agresinya diakui oleh Indonesia sampai adanya plebisit
(jajak pendapat) apakah ingin bergabung dengan Indonesia atau tidak.
3. Indonesia bersedia
menarik seluruh pasukannya dari kantong2 gerilya di daerah yang diduduki
Belanda untuk masuk ke wilayah Indonesia.
Perjanjian ini ditandatangani tanggal 17 Januari 1948. Keputusan Indonesia menyetujui perundingan
ini sontak mendapat tentangan di dalam negeri. Mayoritas partai politik
pendukung pemerintah menolak hasil perundingan ini karena sangat merugikan
Indonesia. Selain penolakan dari partai politik, ada dua peristiwa besar yang
terjadi pada tahun 1948 yang menggoncang perjuangan diplomasi Indonesia yang
sedang berjalan.
Pertama
yaitu didirikannya Negara Islam Indonesia oleh SM Kartosuwiryo di Jawa Barat
pada bulan Mei 1948 karena tidak puas dengan perjanjian Renville, di mana
wilayah Jawa Barat diberikan kepada Belanda. Namun pemberontakan ini nantinya
mampu diberantas dan Kartosuwiryo dihukum mati.
Kedua,
pemberontakan PKI dan proklamasi berdirinya Negara Soviet Republik Indonesia di
Madiun pada bulan Juli 1948. Pemberontakan ini dipimpin oleh Musso dan Amir
Syarifudin, namun pada akhirnya pemberontakan ini berhasil dipadamkan dan
pemimpinnya dihukum mati. Dua peristiwa di atas semacam menjadi “pengganggu”
dalam perjuangan diplomasi Indonesia.
Indonesia
yang sudah digempur dari luar oleh Belanda, digempur lagi dari dalam oleh
pemberontakan NII dan PKI pada akhirnya bertambah menyedihkan dengan terjadinya
agresi militer Belanda yang kedua pada bulan Desember 1948.
Dalam aksinya itu, Belanda mampu menguasai Jogjakarta, Ibukota
Indonesia dan menawan Soekarno-Hatta dan anggota kabinet lain. Sebelum ditawan
Soekarno-Hatta telah menunjuk Syafrudin Prawiranegara menjadi Presiden
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Sementara itu Tentara di bawah pimpinan Jenderal Sudirman tetap bergerilya dan berperang.
Di
luar perkiraan Belanda, agresi keduanya ini justru mengundang reaksi
internasional yang lebih luas. Keberhasilan Indonesia menumpas pemberontakan
PKI di Madiun, menimbulkan simpati Amerika Serikat sebagai pemimpin blok barat
(liberal) yang pada saat itu sedang “Perang Dingin” dengan Uni Soviet pemimpin
negara2 Komunis (Blok Timur).
Selain Amerika, pada bulan Januari 1949, PBB juga mengeluarkan
resolusi yang isinya :
1. Hentikan permusuhan
2. Bebaskan Soekarno-Hatta
dan pemimpin yang ditawan lainnya
3. Memerintahkan KTN untuk
memberikan laporan lengkap tentang situasi di Indonesia.
Tekanan-tekanan
dunia internasional tersebut, terutama ancaman Amerika Serikat untuk mencabut
bantuan dana ekonomi “Marshal Plan” kepada Belanda, telah memaksa
Belanda untuk mematuhi perintah PBB. Belanda pada akhirnya melunak dan mau
mengadakan perundingan
Perundingan
berikutnya disebut perundingan Roem-Royen, didasarkan kepada nama pemimpin
delegasi masing2. Indonesia dipimpin oleh Mohamad Roem dan Belanda dipimpin
Dr.JH. Van Royen. Pada perundingan ini Indonesia menyatakan akan memerintahkan
pasukannya untuk berhenti berperang dan mengusahakan perdamaian secepatnya.
Indonesia juga menyatakan akan hadir dalam Konfrensi di Belanda (nanti disebtu Konfrensi Meja Bundar). Sementara itu Belanda
setuju untuk membebaskan Soekarno dan HAtta serta pemimpin lain. Belanda juga
akan fokus pada pelaksanaan KMB di Belanda secepat mungkin.
4
Agustus 1949, delegasi Indonesia diberangkatkan menuju Den Haag, Belanda untuk
mengikuti perundingan yang sudah disepakati di perjanjian Roem-Royen. Delegasi
ini dipimpin oleh Perdana Menteri Hatta. Perundingan ini berlangsung hingga 2
November 1949 (bisa dibayangkan betapa alotnya perundingan ini). Berikut hasil
nya :
1. Belanda mengakui
Republik Indonesia Serikat sebagai negara berdaulat dan merdeka.
2. Status Irian (Papua)
akan diselesaiakn setahun setelah pengakuan kedaulatan dilakukan.
3. Akan dibentuk Uni
Indonesia-Belanda berdasarkan kerjasama sukarela dan sederajat.
4. RIS mengembalikan hak
milik Belanda serta memberikan izin baru untuk
perusahan-perusahaan Belanda.
5. RIS harus membayar semua
utang-utang Belanda yang dibuat sejak tahun 1942.
Hasil KMB ini kemudian
diserahkan kepada KNIP (semacam DPR) dan disetujui oleh mayoritas anggotanya.
15 Desember 1949, diadakan pemilihan Presiden RIS, Soekarno terpilih kembali
keesokan harinya. 20 Desember Soekarno dilantik, kabinet dibentuk Moh Hatta
sebagai Perdana Menteri. 23 Desember 1949, delegasi RIS yang dipimpin oleh
Hatta berangkat ke Belanda, untuk menandatangani akta penyerahan kedaulatan
dari Belanda.
27
Desember 1949, hari yang paling bersejarah bagi Indonesia setelah 17 Agustus
1945, di Amsterdam ditandatangani naskah penyerahan kedaulatan dari Belanda. Acara itu
dihadiri oleh Ratu Belanda Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem Dress dan tentu saja Perdana Menteri kita
Mohamad Hatta. Mereka semua menandatangani naskah tersebut.
Selain
di Amsterdam, di Indonesia juga dilakukan upacara penyerahan kedaulatan,
Indonesia diwakili Sultan Hamengkubuwono IX, Belanda diwakili AHJ Lovink.
Ternyata
bentuk negara RIS tidak berumur panjang, karena negara-negara bagian
menginginkan bentuk negara kesatuan. Hal ini ditambah oleh dukungan rakyat dari
berbagai negara bagian tersebut. Maka pada tanggal 14 Agustus 1950 disepakati
sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang NKRI. 15 Agustus 1950,
Undang-Undang tersebut ditandantangani oleh Bung KArno menjadi UUD 50
Sementara. 17 Agustus 1950 secara resmi RIS dibubarkan, dan NKRI dibentuk
berdasarkan UUD 1950 Sementara.
Penandatanganan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, 27 Desember 1949. |
Komentar
Posting Komentar